Kamis, 31 Maret 2016

ijtihat dan fatwa

IJTIHAD DAN FATWA
ijtihad
1.     Definisi dan Fungsi Ijtihad

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ". Kepada ‘Ali bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu mencakup dua pengertian :
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari    sesuatu ayat atau hadits.
Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59
            Meurut terminologi, ijtihad adalah mengorbakan semaksimal mungkin kemampuan manusia, baik raga maupun jiwa dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, karena tujuan yang dicarinya, baik berbentuk materi ataupun pikiran. Sebagian ulama mendefinisikannya dalam pengertian umum yaitu menghabiskan (memaksimalkan) kesungguhannya dalam mencri sesuatuyang ingin di capai, sehingga dapat diharapkan tercapainya, atau diyakini sampai kepada tujuan. Namun, secara lughawy juga berarti mengrahkan kesungguhan dan mengoptimalkan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kemudian ijtihad menurut ahli ushul berarti pengaruh pengertian mujtahid dalam mencari ilmu tentang hokum-hukum syariah dengan cara istinbath (mengeluarkan hokum dari sumbernya).
            Dari definisi ijtihad tersebut dapat dipahami beberapa kata kunci yang mnegacu kepada pengertian ijtihad, yakni:
1.      Mujtahid mengerahkan kemampuannya, artinya mencurahkan kemampuannya seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.
2.      Bahwa yang mengerahkan kemampuan itu adalah seorang mujtahid. Adapun seorang yang bukan mujtahid, maka pengrahan kemampuan tidak diperhitungakan, karena ia bukan ahli ijtihaad, sedang ijtihad itu hanya dapat diterima apabila bersumber dari orang yang ahli (berwenang) untuk berijtihad.
3.      Bahwa kesungguhan itu untuk tujuan mengetahui hokum-hukum syariah amaliah (praktis) bukan yang lain, maka kesungguhan yang dikerahkan itu bukan untuk mengetahui hokum-hukum kebebasan (lughawiyah) atau logika (aqliyah) atau inderawi (hissiah) dari kalangan ijtihad menurut istilah ahli ushul.
4.      Disyaratkan dalam mengetahui hokum syariah, yang dilakukan melalui istinbhat, artinya mendapatkan dan mengambil faedahnya dari dalil-dalilnya melalui penalarandan penelitian dalam hokum-hukum itu. Maka tidak dimasukkan kedalam katagori pengertian ijtihad ini dengan menghafal masalah-masalah (yang telah ada), atau menghantuinya melalui mufti, atau mendapatkannya melalui buku-buku ilmu pengetahuan, maka yang demikian itu tidak dapat dimasukkan dalam kelompok ijtihad menurut istilah.
2. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
3. Cara ber-Ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :
a. Qiyas = reasoning by analogy. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ?  Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.
b. Ijma' = konsensus = ijtihad kolektif. Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
c. Istihsan = preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18.
d. Mashalihul Mursalah = utility, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.

Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Kasus Seputar Ijtihad
Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun demikian, dari keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak ditemukannya ketentuan hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh. Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang ada.
Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.

Fatwa

Fatwa (dari bahasa Arab فتوى‎), artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya #1.
 Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia, Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai suatu keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan pelaksanaan ibadah umat Islam di Indonesia.
1.      Sifat sifat ideal bagi mufti
Imam ahmad mengharapkan seorang mufti seyogianya bersifat sebagai berikut:
a.       Kuat niatnya. Diharapkan bagi seorang mufti dalam memberikan fatwa hanya semata-mata karena Allah. Seorang mufti yang memberikan fatwa lantaran mengharapkan imbalan harta, kemuliaan dan jabatan dari penguasa hanya keduniaan itulah yang diperoleh.
b.      Berpengetahuan, sabar, penuh hormat, dan tenang. Karena yang di fatwakan itu hukum-hukum Allah padahal kenyataannya ia berpengetahuan dalam hal itu, maka tindakannya itu tidak lain hanyalah pengetahuan belaka. Firman Allah dalam surat Azzumar ayat 60 yang berarti: “pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berdusta terhadap Allah, muka nya menjadi hitam…”.
c.       kuat terhadap yang dikuasainya dan terhadap yang diketahuinya. Seorang mufti hendaknya orang yang mendalam ilmunya. Sebab jika picik pengetahuannya maka fatwanya akan membuat mundur dari kebenaran dalam bidang hal yang seharusnya di majukan dan terlalu maju dalam hal-hal yang seharusnya mundur.
d.      Cukup ekonominya. Kecukupan ini sangat membantu mereka dalam menghidupkan ilmunya.  Seorang mufti yang g selalu mengharapkan batuan dari orang lain akan selalu dihina dan dicirca oleh orang banyak.
e.       Mengenal masyarakat.  Seorang mufti yang acuh tak acuh terhadap kondisi dan situasi masyarakat niscaya tidak berhasil. Kerusakan akibat dari fatwa yang kurang bijaksana itu akan lebih banyak dari pada kemaslahatan yang diharapkan.
2.      Kewajiban bagi seorang mufti
Seorang mufti yang hendak difatwanya harus memelihara hal-hal berikut:
1.      Tidak memberikan fatwa sewktu dalam keadaan gun dah, grogi, takut atau tidak tenang jiwanya.
2.      Menghadapkan hatinya kepada Allah, memohon pertolongan kepadanya agar dibuka jalan petunjuk kebenaran.
3.      Mengusahakan hukum yang fatwakan diridhai olehAllah.
3.      Persamaan dan parbedaan antara memberi keputusan(qadha’) dan memberi fatwa(ifta’)
Antara kekuasan kadha dan ifta’ terdapat persamaan dan perbedaan. Adapun peramaannya ialah bahwa baik hakim maupun mufti harus:
a.       Memahami oeristiwa yang hendak dimintakan keputusan atau fatwa
b.      Memahami hukum syar’I yang akan diterapkan keada peristiwa tersebut
Adapun perbedaannya adalah:
a.       Memberi fatwa itu lebih jelas jangkauannya dari pada memberi keputusan
b.      Keputusan diberikan kepadaa orang yang dikalahkan perkaranya yang harus dilaksanakan
c.       Keputusan yang berlawanan dengan fatwa seorang mufti tetap dijalankan
d.      Seorang mufti tidak dapat memberi keputusan, kecuali jika diberi kekuasaan untuk memberi kaputusan.


DAFTAR PUSTAKA


  • Abidin Zainal Alawi. Ijtihad Kontemporer, 2003, Yayasan Haji Abdullah Amin: Banda Aceh
  • Tufik Racmat Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, 2000, Pustaka Jaya: Jakarta
  • Yahya Mukhtar dkk. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, 1986, Alma’arif: Bandung