IJTIHAD DAN FATWA
ijtihad
1. Definisi dan Fungsi Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد)
adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan
oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang. Secara
bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu.
Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut :
" Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu
persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau
tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ". Kepada ‘Ali bin
Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan
ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu
salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan
ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat,
bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu mencakup dua pengertian :
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum
yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan
dan mengambil kesimpulan dari sesuatu
ayat atau hadits.
Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada
al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59
Meurut
terminologi, ijtihad adalah mengorbakan semaksimal mungkin kemampuan manusia,
baik raga maupun jiwa dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, karena tujuan yang
dicarinya, baik berbentuk materi ataupun pikiran. Sebagian ulama
mendefinisikannya dalam pengertian umum yaitu menghabiskan (memaksimalkan)
kesungguhannya dalam mencri sesuatuyang ingin di capai, sehingga dapat
diharapkan tercapainya, atau diyakini sampai kepada tujuan. Namun, secara lughawy juga berarti mengrahkan
kesungguhan dan mengoptimalkan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Kemudian ijtihad menurut ahli ushul berarti pengaruh pengertian mujtahid dalam
mencari ilmu tentang hokum-hukum syariah dengan cara istinbath (mengeluarkan
hokum dari sumbernya).
Dari
definisi ijtihad tersebut dapat dipahami beberapa kata kunci yang mnegacu
kepada pengertian ijtihad, yakni:
1. Mujtahid mengerahkan kemampuannya,
artinya mencurahkan kemampuannya seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa
dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.
2. Bahwa yang mengerahkan kemampuan itu
adalah seorang mujtahid. Adapun seorang yang bukan mujtahid, maka pengrahan
kemampuan tidak diperhitungakan, karena ia bukan ahli ijtihaad, sedang ijtihad
itu hanya dapat diterima apabila bersumber dari orang yang ahli (berwenang)
untuk berijtihad.
3.
Bahwa kesungguhan itu untuk tujuan mengetahui hokum-hukum syariah amaliah (praktis) bukan yang
lain, maka kesungguhan yang dikerahkan itu bukan untuk mengetahui hokum-hukum
kebebasan (lughawiyah) atau logika (aqliyah) atau inderawi (hissiah) dari
kalangan ijtihad menurut istilah ahli ushul.
4. Disyaratkan dalam mengetahui hokum syariah,
yang dilakukan melalui istinbhat, artinya mendapatkan dan mengambil faedahnya
dari dalil-dalilnya melalui penalarandan penelitian dalam hokum-hukum itu. Maka
tidak dimasukkan kedalam katagori pengertian ijtihad ini dengan menghafal
masalah-masalah (yang telah ada), atau menghantuinya melalui mufti, atau
mendapatkannya melalui buku-buku ilmu pengetahuan, maka yang demikian itu tidak
dapat dimasukkan dalam kelompok ijtihad menurut istilah.
2. Kedudukan Ijtihad
Berbeda
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan
sebagi berikut :
a.
Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b.
Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang
tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak
berlaku pada masa / tempat yang lain.
c.
Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan
ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d.
Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e.
Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi,
akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi
ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
3. Cara ber-Ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat
methode-methode antara lain sebagai berikut :
a. Qiyas = reasoning by analogy. Yaitu menetapkan sesuatu hukum
terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah,
dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh
al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur'an
surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan
Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang
dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ? Dalam al-Qur'an maupun
al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan
analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum'at
dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu
shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra' 23;
seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul,
menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi
terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman
Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar
Qiyas tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw
: Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri,
padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu
berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul
: Kalau begitu teruskanlah puasamu.
b. Ijma' = konsensus = ijtihad kolektif. Yaitu persepakatan ulama-ulama
Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib
mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang
tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan :
" Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu
sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini
adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena
ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para
ulamanya.
c. Istihsan = preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum
terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran
Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan
disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai
pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas
pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan
memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus
mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat
az-Sumar 18.
d. Mashalihul Mursalah = utility, yaitu menetapkan hukum terhadap
sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang
sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul
mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu
dengan disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul
mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya
dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran
maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran
dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam
dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji
apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al
Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus
mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al
Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka
umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad
adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Kasus Seputar Ijtihad
Dasar sumber-sumber ijtihad adalah
Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun demikian, dari keempat sumber ini,
bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak ditemukannya ketentuan
hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh.
Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang ada.
Karena itu, terhentinya atau tidak
dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan
terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal
lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan
yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal
pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya
kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang
mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas
kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela
dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah
dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada
posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus
hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus
dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan
hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang
awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena
ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan
masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum.
Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui
keabsahan dan kebenarannya.
Fatwa
Fatwa (dari bahasa Arab فتوى), artinya nasihat,
petuah, jawaban atau pendapat. adapun yang
dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai
tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti)
yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus
mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya #1.
Penggunaannya dalam kehidupan
beragama di Indonesia, Fatwa dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai suatu
keputusan tentang persoalan ijtihadiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan
pelaksanaan ibadah umat Islam di Indonesia.
1.
Sifat sifat ideal bagi
mufti
Imam ahmad mengharapkan seorang mufti
seyogianya bersifat sebagai berikut:
a.
Kuat niatnya. Diharapkan bagi seorang mufti dalam memberikan fatwa hanya semata-mata
karena Allah. Seorang mufti yang memberikan fatwa lantaran mengharapkan imbalan
harta, kemuliaan dan jabatan dari penguasa hanya keduniaan itulah yang
diperoleh.
b.
Berpengetahuan, sabar,
penuh hormat, dan tenang. Karena yang di fatwakan
itu hukum-hukum Allah padahal kenyataannya ia berpengetahuan dalam hal itu,
maka tindakannya itu tidak lain hanyalah pengetahuan belaka. Firman Allah dalam
surat Azzumar ayat 60 yang berarti: “pada hari kiamat kamu akan melihat
orang-orang yang berdusta terhadap Allah, muka nya menjadi hitam…”.
c.
kuat terhadap yang
dikuasainya dan terhadap yang diketahuinya. Seorang
mufti hendaknya orang yang mendalam ilmunya. Sebab jika picik pengetahuannya
maka fatwanya akan membuat mundur dari kebenaran dalam bidang hal yang
seharusnya di majukan dan terlalu maju dalam hal-hal yang seharusnya mundur.
d.
Cukup ekonominya. Kecukupan ini sangat membantu mereka dalam menghidupkan
ilmunya. Seorang mufti yang g selalu
mengharapkan batuan dari orang lain akan selalu dihina dan dicirca oleh orang banyak.
e.
Mengenal masyarakat. Seorang mufti yang acuh tak
acuh terhadap kondisi dan situasi masyarakat niscaya tidak berhasil. Kerusakan
akibat dari fatwa yang kurang bijaksana itu akan lebih banyak dari pada
kemaslahatan yang diharapkan.
2.
Kewajiban bagi seorang
mufti
Seorang mufti yang hendak difatwanya harus
memelihara hal-hal berikut:
1.
Tidak
memberikan fatwa sewktu dalam keadaan gun dah, grogi, takut atau tidak tenang
jiwanya.
2.
Menghadapkan
hatinya kepada Allah, memohon pertolongan kepadanya agar dibuka jalan petunjuk
kebenaran.
3.
Mengusahakan
hukum yang fatwakan diridhai olehAllah.
3.
Persamaan dan parbedaan
antara memberi keputusan(qadha’) dan memberi fatwa(ifta’)
Antara kekuasan kadha dan ifta’ terdapat
persamaan dan perbedaan. Adapun peramaannya ialah bahwa baik hakim maupun mufti
harus:
a.
Memahami
oeristiwa yang hendak dimintakan keputusan atau fatwa
b.
Memahami
hukum syar’I yang akan diterapkan keada peristiwa tersebut
Adapun perbedaannya adalah:
a.
Memberi
fatwa itu lebih jelas jangkauannya dari pada memberi keputusan
b.
Keputusan
diberikan kepadaa orang yang dikalahkan perkaranya yang harus dilaksanakan
c.
Keputusan
yang berlawanan dengan fatwa seorang mufti tetap dijalankan
d.
Seorang
mufti tidak dapat memberi keputusan, kecuali jika diberi kekuasaan untuk
memberi kaputusan.
DAFTAR
PUSTAKA
- Abidin Zainal
Alawi. Ijtihad Kontemporer, 2003,
Yayasan Haji Abdullah Amin: Banda Aceh
- Tufik Racmat
Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, 2000, Pustaka Jaya: Jakarta
- Yahya Mukhtar
dkk. Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami, 1986, Alma’arif: Bandung